Ketika Insinyur Menjadi Peneliti
- Rachma Safa Aulia
- 1 Apr
- 8 menit membaca
Agus S. Ekomadyo, Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur SAPPK ITB, aekomadyo00@gmail.com
Sebuah Tulisan Menyambut Berdirinya Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI)
Di Indonesia, istilah penelitian acapkali didikotomikan dengan istilah praktik. Dan teori cenderung mempunyai konotasi sebagai sesuatu yang mengawang-awang dan tidak memijak ke bumi, berbeda dengan konotasi praktik yang cenderung berorientasi pada pemecahan masalah. Bahkan perguruan tinggi pun, jurusan-jurusan yang berorientasi pada teori, seperti jurusan sains, kurang diminati daripada jurusan-jurusan yang berorientasi pada praktik, seperti jurusan teknik. Lulusan dari jurusan-jurusan yang kuat di dalam praktik dianggap lebih mudah diserap dunia kerja daripada mereka yang bergelut di dunia teori. Keterkaitan terhadap dunia kerja ini juga yang membuat kegiatan meneliti untuk menghasilkan pengetahuan dalam membangun teori menjadi kurang mendapatkan penghargaan oleh masyarakat kita.
Di jurusan teknik pun, para dosen, yang seharusnya mengembangkan pengetahuan lewat penelitian, ternyata lebih suka ber-praktek. Alasan umum yang sering diungkap adalah bahwa “laboratorium” para insinyur adalah dunia kerja: Ilmu insinyur ada di dalam praktik. Alasan lain adalah alasan finansial, penghargaan materi lewat kerja proyek jauh lebih memadai daripada penghargaan melalui kerja meneliti.
Nah, ketika beberapa insinyur memilih untuk menjadi peneliti, apalagi hingga membentuk asosiasi profesi peneliti, hal ini menjadi menarik untuk diamati. Apa nggak turun kasta, tuh? Tulisan ini berusaha mengusik rasa ingin tahu terhadap fenomena yang ada di balik peristiwa ketika para insinyur memutuskan diri menjadi peneliti. Dengan metode refleksi dan melihat peluang ke depan, tulisan ini mencoba menghadirkan peta di mana letak peran insinyur-peneliti dalam masyarakat.
Mengapa Insinyur perlu Meneliti?
Lingkungan binaan mempunyai keterkaitan yang erat dengan profesi insinyur. Istilah “lingkungan binaan” (built environment), mengacu pada produk buatan manusia yang menyediakan tempat untuk aktivitas manusia, mulai dari tempat aktivitas personal, rumah tinggal, perkampungan, kawasan hingga perkotaan. Berdasarkan sejarahnya, awal dari keilmuan lingkungan binaan adalah teknik sipil, yang mempelajarai tentang ranjang bangun bangunan dan prasarana pendukungnya. Perkembangan pengetahuan menjadikan ilmu teknik sipil mekar menjadi ilmu-ilmu lainnya, seperti teknik arsitektur, teknik geodesi, teknik lingkungan, teknik planologi, desain interior, dan lain-lainnya.
Dalam bahasa Inggris, insinyur diterjemahkan sebagai engineer, yang didefinisikan sebagai orang yang merancang dan membangun mesin, jalan, jembatan, dan lain-lainnya (Oxford Dictionary, 2000). Definisi ini mengarahkan fokus kerja insinyur adalah membuat sesuatu. Artinya seorang insinyur bekerja dengan dasar pada suatu permasalahan tertentu, melakukan analisis, merancang produk tersebut untuk menyelesaikan aneka masalah yang ada, dan menjadikan produk tersebut sebagai benda yang bisa digunakan. Fokus kerja insinyur adalah menciptakan produk, dan cara kerja ini cenderung beriorientasi pada problem solving.
Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam definisi di atas, kegiatan meneliti bukan absen dari pekerjaan seorang insinyur. Saat ia menganalisis sebuah masalah, sesungguhnya insinyur tersebut sedang meneliti. Meski demikian, karena orientasinya pada produk dan pemecahan masalah, kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan tacit yang menyatu pada kerja secara keseluruhan. Ini berbeda dengan kegiatan penelitian saintis yang lebih berorientasi untuk menghasilkan pengetahuan baru, sehingga penelitian merupakan kegiatan eksplisit karena adanya persyaratan validitas terhadap proses yang dilakukan.
Di negara maju, kegiatan penelitian telah mendapat porsi besar dalam dunia engineering, dan bisa merupakan kegiatan yang terpisah dan bersifat mandiri dari kegiatan produksi. Kompleksitas teknis, tekanan pasar, dan tuntutan publik telah mendorong kegiatan produksi bukan sekadar problem solving, tetapi juga problem mapping. Di sinilah kegiatan penelitian berperan penting, supaya masalah bisa diselesaikan secara efektif.
Di Indonesia, kondisinya berbeda: kegiatan penelitian belum dianggap mempunyai peran yang signifikan. Bahkan penelitian yang bersifat fundamental pun belum dihargai dengan sepantasnya. Kita boleh beralasan bahwa bangsa Indonesia masih cenderung berpikir pendek, dan memilih menyelesaikan masalah secara sepenggal-penggal yang tidak membutuhkan pemikiran mendalam; tetapi itulah kenyataannya. Termasuk dalam dunia lingkungan binaan di mana masalah cenderung dianggap bisa diselesaikan lewat pengalaman para insinyurnya semata, dan tidak mesti melalui pengetahuan terstruktur yang dihasilkan lewat penelitian mendalam. Tidak aneh, jika para pengajar perguruan tinggi teknik pun, yang seharusnya meneliti, lebih memilih untuk sibuk berpraktek (baca: mroyek) dalam rangka mengejar pengalaman lapangan, daripada melakukan penelitian untuk memproduksi ilmu pengetahuan.
Namun pada tahun 2000-an, muncul beberapa lulusan perguruan tinggi teknik yang memutuskan untuk mendalami penelitian lingkungan binaan. Meskipun masih samar (sembari membuka ruang diskusi), penulis mencoba memetakan mengapa dunia penelitian dipilih untuk ditekuni oleh para insinyur.
1) Persaingan yang ketat dan cenderung keras di dunia konstruksi. Ditambah lagi, proyek-proyek dalam dunia konstruksi di Indonesia sering terkait dengan relasi kekuasaan tertentu. Akibatnya, pekerjaan sebagai insinyur cenderung selalu di bawah kekuasaan dan kepentingan tertentu, dan tidak cukup tersedia ruang-ruang untuk para insinyur untuk mengembangkan idealismenya.
2) Perkembangan dunia maya. Fenomena internet dengan sarana website dan blog-nya bisa membuat orang bekerja secara mandiri (freelancer). Gagasan hasil pemikiran dan pengamatan dan penelitian mandiri bisa disajikan dalam website dan blog yang dikunjungi banyak orang. Banyak contoh orang yang telah mampu melakukan kapitalisasi terhadap pengetahuan yang didesimenasikan via dunia maya.
3) Tekanan universitas. Ini dialami oleh insinyur praktisi yang juga bekerja mengajar di perguruan tinggi. Meskipun secara historis keilmuan lingkungan binaan dihasilkan lewat praktik, namun ketika berada di dunia akademis pengetahuan ini harus disusun secara ilmiah. Penelitian merupakan metode yang lebih valid dalam menyusun pengetahuan daripada dunia kerja. Di Indonesia, kebijakan anggaran pendidikan 20% dan keharusan jenjang strata 3 untuk karier akademis di perguruan tinggi, berimplikasi pada peningkatan dana penelitian, dan dalam beberapa kasus, justru lebih layak secara finansial daripada proyek konstruksi.
4) Jejaring global. Di negara maju, dunia penelitian jauh dihargai. Kerja sama antar lembaga penelitian telah menjangkau antar negara. Artinya, meskipun menjadi peneliti di Indonesia, seorang peneliti masih memungkinkan untuk bekerja sama dengan mitranya di negara maju.
Keasyikan Meneliti bagi Insinyur
Dalam sebuah kisah masa lalu di ITB, seorang dosen Teknik Sipil mengajarkan sistem drainase dengan terlebih dulu meminta mahasiswa untuk “mendengarkan suara air yang mengalir, rasakan gerakan dan tekanannya”. Sebenarnya sang dosen ini tengah mengajarkan kepekaannya tentang benda yang akan direkayasa, yaitu air. Mahasiswa diajak untuk memahami fenomena air yang mengalir secara inderawi: bagaimana gerak, tekanan, dan turbulensi yang terjadi dan implikasinya terhadap saluran yang mewadahinya. Baru dari situ sang dosen mengembangkan berbagai teori dan cara menghitung kekuatan air sebagai fluida, dan pengaruhnya terhadap jalur yang harus dirancang. Di sini mahasiswa diajak untuk membangun keasyikan dalam mendalami suatu fenomena, dan bukan sekadar bekerja berdasarkan rumus-rumus yang kaku.
Keasyikan dalam mengamati fenomena itulah yang bisa diperoleh dalam kegiatan meneliti lingkungan binaan. Di sinilah peneliti bisa mempunyai jarak dengan objek lingkungan binaan yang diamati, sehingga bisa melihatnya dengan lebih objektif dan jernih. Dan saat data-data yang dihimpun berhasil terkait satu sama lain, dan “aha!”, sebuah temuan baru muncul, betapa kepuasan hati bisa muncul saat itu. Dukungan seperangkat metode yang lebih bersifat objektif menjadikan pengetahuan yang didapat dari meneliti terasa berbeda dengan yang didapatkan saat praktik bekerja. Pengetahuan yang didapatkan lebih bisa bersifat umum, dan bukan pengetahuan personal.
Adanya jarak dengan objek lingkungan binaan di satu sisi membuat peneliti bisa melihat lebih luas dan objektif, namun di lain sisi bisa berpotensi melepaskan peneliti dari objek lingkungan binaan yang ditelitinya. Seorang guru besar arsitektur pernah menyindir sekelompok arsitek yang berseminar sebagai berada di dalam “cocon” (kepompong). Mereka berbicara mengenai objek arsitektur yang diamati dan diteliti, membahas dengan keasyikannya masing-masing, dan akhirnya hanya berwacana tanpa berbuat nyata. Sementara, masalah nyata dalam masyarakat tidak tersentuh, alih-alih terbantu untuk diselesaikan. Penelitian akhirnya menjadi sekadar hobby dan lepas dari realitas permasalahan yang ada.
Analogi “cocon” dalam penelitian adalah laboratorium. Di laboratorium, kondisi lingkungan selalu dibuat ideal, supaya proses penelitian bisa dikendalikan. Maka, dapat dimaklumi kalau hasil penelitian di laboratorium dianggap belum cukup siap untuk diaplikasikan di dunia nyata, di mana kondisi lingkungan tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Laboratorium adalah kepompong, zona nyaman bagi ulat untuk kemudian bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Penelitian memang menyajikan zona nyaman dan keasyikan. Namun jika berada terus di dalam laboratorium, hasil penelitian seperti ulat yang enggan menjadi kupu-kupu: selalu setengah matang. Atau dalam peribahasa dikiaskan sebagai bagai bunga kembang tak jadi.
Bukan berarti penelitian tidak membutuhkan kepompong yang bernama laboratorium, tetapi jangan terjebak di situ. Ada dua sisi pisau dalam sebuah zona nyaman: keasyikan dan jebakan! Seperti sebuah embrio, yang membutuhkan rahim agar berkembang menjadi janin, dan pada saatnya harus keluar sebagai bayi manusia. Meski menyakitkan dan menangis saat harus beradaptasi dengan dunia baru yang tidak nyaman, tapi inilah keniscayaan suatu daur hidup manusia. Demikian pula peneliti lingkungan binaan, di suatu saat harus keluar dari “kepompongnya” dan hadir di tengah-tengah masyarakat membawa pengetahuan yang didapatkannya dari meneliti. Di sini, tradisi dalam dunia praktik sebagai insinyur menjadi jalur yang bisa diandalkan.
Era Informasi, Demokrasi dan Peluang Peneliti Lingkungan Binaan
Bagian terakhir dari tulisan ini menyajikan beberapa peta peluang bagi peneliti lingkungan binaan, terutama bagaimana hasil penelitian bisa berkontribusi nyata bagi masyarakat. Dengan peta yang tersaji, meski masih samar, dicoba disajikan faktor-faktor signifikan, yang diharapkan bisa membantu memandu insinyur-insinyur yang akan meneliti. Diharapkan pula diskusi lebih lanjut supaya peta samar ini bisa diperjelas atau dikoreksi.
Faktor penting pertama adalah perkembangan teknologi informasi. Adanya internet telah membuka sumber informasi yang sangat luas, yang memungkinkan setiap orang mengetahui berbagai hal. Ini memungkinkan seseorang melakukan penelitian mandiri, berdasarkan informasi sekunder yang didapatkan, untuk mendapatkan kebenaran dalam suatu tingkat tertentu. Internet telah membuka manusia menuju “knowledge big-bang”, yang hingga saat ini memperlihatkan akselerasi signifikan dalam mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat dunia (Dimitri Mahayana, Menjemput Masa Depan: Futuristik dan Rekayasa Masyarakat menuju Era Global, 1999). Ketika berbicara mengenai pengetahuan inilah, peneliti, sebagai insan paling kompeten dalam memproduksi pengetahuan, bisa lebih berpengaruh dalam rekayasa sosial, bahkan daripada ahli rekayasa (baca: insinyur) sekalipun.
Faktor kedua adalah menguatnya masyarakat jejaring (network society). Ini bisa disebut faktor turunan dari perkembangan teknologi informasi. Dalam masyarakat jejaring, sebuah informasi, dalam konteks ini dapat berupa hasil temuan penelitian, bisa dibagi (di-sharing) kepada anggota suatu komunitas melalui jaringan informasi yang ada. Persilangan temuan dan pengetahuan melalui publikasi, diskusi, pro-kontra, dan debat dalam suatu komunitas mendorong terjadinya dialektika demi terbangunnya ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia.
Masyarakat jejaring yang berkembang saat ini bahkan telah menjadi kekuatan ekonomi yang sangat signifikan. Masyarakat jejaring ternyata sanggup menciptakan pasar, menghasilkan perusahaan-perusahaan, dan membangun sistem dan struktur ekonomi yang bersifat global (Manuel Castells, the Rise of Network Society, 2010). Dalam teori ekonomi, masyarakat jejaring berperan signifikan dalam membentuk third sector economy, sebuah kekuatan ekonomi yang berbasis komunitas, di samping dua sektor sebelumnya yaitu sektor publik yang digerakkan oleh pemerintah dan sektor swasta yang digerakkan oleh perusahaan profit. Kaitannya dengan dunia penelitian, termasuk penelitian lingkungan binaan, adalah kemungkinan komunitas peneliti bisa mengembangkan dan menghidupkan aktivitasnya melalui ekonomi yang digerakkan oleh jejaring yang dibangunnya.
Faktor ketiga adalah perkembangan demokrasi dan kekuatan publik. Setelah revolusi Perancis pada abad ke-18, keputusan-keputusan penting di dunia semakin ditentukan oleh pertimbangan rasional untuk mendapatkan dukungan publik. Inilah era di mana demokrasi akan semakin menjadi penentu. Dalam demokrasi, argumentasi rasional akan semakin berperan dalam mempengaruhi keputusan publik. Di sinilah, pemetaan masalah menjadi sangat penting dalam membangun argumentasi publik tersebut. Dan penelitian menjadi berperan penting, karena lewat penelitian informasi dan data yang akurat akan tersaji dengan baik untuk argumentasi tersebut.
Dalam konteks untuk meyakinkan publik inilah posisi insinyur-peneliti bisa menjadi lebih kuat daripada insinyur saja. Agenda-agenda rekayasa bisa disemaikan kepada publik, melalui pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian. Artinya, lewat pengetahuan yang sahih, kepercayaan publik bisa diraih. Kombinasi kekuatan pengetahuan dan kekuatan publik ini bisa mempengaruhi keputusan suatu proses rekayasa lingkungan binaan saat harus berhadapan dengan kepentingan kekuasaan. Dalam wilayah publik, kekuatan pengetahuan (knowledge power) merupakan sumber dari kekuatan profesional (expertise power) yang menjadi ujung tombak dalam mengawal kualitas dalam produksi lingkungan binaan. Singkatnya, bila dikelola dengan baik, penelitian lingkungan binaan dapat menjadi kekuatan yang mempengaruhi perwujudan kualitas lingkungan binaan.
Dengan demikian, peneliti lingkungan binaan berpotensi mempunyai peran signifikan dalam membangun masyarakat. Pengetahuan yang dihasilkan lewat penelitian akan lebih bersifat argumentatif, dan bukan sekadar opini personal. Penelitian akan memberikan rujukan bagi masyarakat untuk melangkah ke kehidupan yang lebih baik. Penelitian para insinyur diharapkan akan memandu bangsa Indonesia dalam membangun lingkungan binaan yang berkualitas.
Selamat meneliti, para insinyur Indonesia!
20 January 2012 by iplbi
Yorumlar