top of page

Penelusuran Kawasan Pusat Kota Alun-alun Malang

Budi Fathony | Arsitektur Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang | Email budifathony21@yahoo.co.id


Abstrak

Pada setiap kota masalah penampilan wajah kota tidak boleh dianggap sepele. Karena wajah kotalah yang pertama kali hadir dan melekat dalam benak pengamatnya. Wajah kota memiliki penampilan elemen pelengkap kota, seperti bangunan dan taman maupun rekaman suasana yang tercipta dari paduan elemen-elemen tersebut. Paduan tersebut akan membentuk karakter yang khas bagi sebuah kota. Alun-alun Malang sebagai poros (axis) bagi bangunan–bangunan yang ada di sekitarnya merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan yang erat, sehingga membentuk struktur tata ruang pusat kota yang indah dengan perletakan gedung-gedung pada tempat yang bagus sekaligus indah. Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan hasil dari tuntutan kebutuhan kota akan fasilitas-fasilitas penunjang kota yang tidak mungkin untuk dihalangi. Selama penentuan fungsi baru yang akan menggantikan fungsi lama masih sesuai dengan tata guna lahan kawasan pusat kota, menurut RDTRK maupun RTRK, tentunya masih bisa diteima. Dengan kata lain fungsi baru tersebut tidak mengalahkan fungsi dominan kawasan, yaitu kawasan pusat kota, antara lain fungsi pendidikan, peribadatan, perdagangan, dan jasa.

Kata Kunci: Pusat Kota, Alun-alun, Kota Malang


Pendahuluan

Kota-kota di Jawa pada jaman prakolonial, baik pusat kerajaan Jawa di pedalaman maupun di pesisir, dibangun berdasarkan suatu konsepsi tata ruang yang sama. Pada umumnya struktur tata ruang kota tradisional di Jawa terdiri atas sebuah lapangan luas yang di tengahnya ditanam sebuah atau dua buah pohon beringin. Lapangan ini disebut alun-alun (Santosa, 1984). Perkembangan suatu kota, terutama kota Malang yang telah berdiri sejak masa lalu, merupakan aset suatu kota yang memiliki ciri khas tertentu, yang dalam perjalanan telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan yang terjadi adalah dampak dari kemajuan jaman yang menuntut pemenuhan kebutuhan, seperti lahan, fasilitas, dan elemen pendukung lainnya. Pola arsitektur alun-alun Malang merupakan poros (axis) bagi bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya dan merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat, sehingga membentuk struktur tata ruang pusat kota yang baik dengan perletakan gedung-gedungnya. Tata letak kotanya didominasi oleh sebuah alun-alun yang terletak di pusat kota; dimana secara garis besar mirip dengan tipologi kota-kota kabupaten di Jawa. Hanya saja, perletakan bangunan penting – seperti Kantor Kabupaten – tidak berhadapan dengan Kantor Asisten Residen (sekarang Kantor KPN). Letak Kantor Asisten Residen tersebut berada di sebelah Selatan alun-alun, sedangkan Kantor Kabupaten terletak di sebelah Timur alun-alun dan tidak menghadap ke alun-alun.


Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu ada halun-halun-nya, yang kemudian disebut alun-alun yang berupa ruangn terbuka. Ruang terbuka ini berbentuk segi empat atau hampir bujur sangkar, menurut Zoetmulder (1935) merupakan filosofi adanya macapat yang sering dianut oleh orang Jawa sebagai pusat orientasi spasial. Arah empat ini dipegang oleh orang Jawa dalam hubungannya dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuwana, yaitu air, bumi, udara, dan api. Dasar pembentuk kehidupan ini kemudian diturunkan sebagai dasar kategori untuk hal-hal lain, misalnya tata ruang pada kawasan alun-alun. Adanya alun-alun tidak bisa dilepaskan dari bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Di sebelah Selatan alun-alun terletak Keraton Raja atau Penguasa setempat. Di sebelah Barat ada Masjid Agung, sedangkan sejumlah bangunan resmi lainnya didirikan di sisi Barat atau Timur. Alun-alun biasanya merupakan merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang menghubungkan Keraton dengan bagian Barat, Utara, dan Timur dari kota. Sedangkan daerah Selatan Keraton merupakan daerah tempat tinggal keluarga Raja dan para pengikutnya. Daerah Utara alun-alun merupakan daerah yang bersifat profan dan struktur kawasan pusat kota alun-alun Malang secara garis besar memiliki tipologi yang sama dengan ibukota kabupaten lainnya di Jawa, namun perletakan bangunan di sekeliling alun-alun yang agak berbeda.


Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mempertahankan pola arsitektur pusat kota tanpa mengubah nilai sosial dan budaya yang tercermin dalam prilaku manusia dengan lingkungan sosial dan lingkungan binaan di kawasan studi, yaitu Kota Malang. Konsep adaptive-use atau pemberian fungsi baru pada bangunan dan lingkungan kuno, masih layak untuk dikembangkan. Bangunan kuno bersejarah dipertahankan bentuk, gaya, dan ragamnya secara fisik, tetapi ruang di dalamnya diolah untuk mewadahi tuntutan kebutuhan ruang yang berbeda dari kegunaan aslinya. Konservasi kawasan diterapkan pada pusat kota alun-alun Kota Malang dimaksudkan sebagai upaya untuk memanfaatkan obyek pelestarian guna menunjang kehidupan masa kini, mengarahkan perkembangan yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian, serta menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam obyek fisik tiga dimensi.


Seiring dengan perkembangan suatu kota, banyak perubahan yang terjadi pada penataan ruang kawasan. Bergantinya fungsi-fungsi yang ada menjadi fungsi tertentu yang baru (perdagangan dan jasa), dimana di satu pihak sangat menguntungkan pihak swasta dan Pemerintah Kota dalam meningkatkan perekonomian kota. Akan tetapi, di lain pihak akan merugikan kalangan tertentu yang berusaha melestarikan bangunan-bangunan kuno bersejarah. Jika dilakukan perubahan pada unsur-unsur pembentuk struktur tersebut, maka akan terjadi pergeseran konsep tata ruang bahkan akan muncul penyimpangan dari konsep semula. Meskipun  perkembangan jaman menuntut adanya perubahan, namun hendaknya tidak sampai menghilangkan konsep dasarnya. Kiranya akan lebih baik jika dipadukan antara dua kepentingan yang berbeda tersebut. Hal ini nampak pada kondisi eksisting kawasan pusat kota alun-alun Kota Malang, dimana beberapa bangunan baru yang telah menggantikan bangunan-bangunan lama, seperti Penjara Wanita berubah menjadi Alun-alun Mall, Gedung Bioskop Ria berubah menjadi Bank Lippo, Rumah Wakil Residen Kabupaten berubah menjadi Kantor Pos dan Giro, Societet Concordia berubah menjadi Sarinah, dan Nederlands Indishe Escompto Mij berubah menjadi Kantor Inspeksi Pajak. Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan hasil dari tuntutan kebutuhan kota akan fasilitas-fasilitas penunjang kota, yang tidak mungkin untuk dihalangi. Selama penentuan fungsi baru yang akan menggantikan fungsi lama masih sesuai dengan tata guna lahan kawasan pusat kota, menurut RDTRK maupun RTRK, tentunya masih bisa diteima. Dengan kata lain, fungsi baru tersebut tidak mengalahkan fungsi dominan kawasan, yaitu kawasan pusat kota, antara lain fungsi pendidikan, peribadatan, perdagangan, dan jasa.


Pandangan hidup orang Jawa terhadap kehidupan di atas bumi dan di bawah langit berpedoman pada ‘bayangan dari kebenaran sejati yang transenden’ (Mulder, 1989). Representasi hunian manusia tidak lebih dari dari penyerahan diri pada struktur kosmologis. Disinilah kota sebagai sistem tempat tinggal manusia secara sosial telah memiliki struktur yang baku. Kota bukanlah suatu gambaran dunia yang masih bisa diubah dan berkembang bebas. Setiap penghuninya secara kosmologik telah memiliki tempat masing-masing sesuai dengan asal-usulnya/keturunannya. Mungkin pandangan kosmologis ini merupakan cara efektif untuk melanggengkan kekuasaan priyayi. Pemantapan tradisi ini semakin diperlukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda sejak tahun 1745 hingga 1945. Perubahan sosial masya-rakat Jawa sejak Revolusi Kemer-dekaan 1945 Jawa bukan sekadar merubah tatanan sosial yang ada, tetapi juga terjadi perubahan di dalam orientasi kosmik. Kota sebagai pusat kekuasaan, sejak berdirinya Republik Indonesia, oleh orang Jawa tidak dianggap berubah, yang berubah adalah pengisi struktur kosmologinya.


Pengertian pusat kota Jawa dalam terminologi Barat sebagai ruang atau bangunan yang terdifinisi akan sulit dipahami. Sebab, apa yang sentral dalam pemikiran urban Jawa tidak merujuk pada pembendaan konsep kotanya, tetapi justru merujuk pada gagasan urban dalam pengertian manunggaling kawula Gusti dalam suatu peristiwa kutha-negara. Geertz (1983) berpendapat bahwa untuk memahami negara (sebagai konsep) perlu melihat kekuasaan dalam jangkauan puitiknya, bukan cara pelaksanaannya. Puisi tidak seperti prosa, ia akan penuh ungkapan simbolik dan kedalaman makna dalam representasi yang singkat. Kekuasaan di Jawa tidak hanya berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tetapi perlu dimengerti dalam analogi energi kehidupan secara total. Anjuran ini akan dikemukakan pada pemahaman konsep kekuasaan, seperti yang telah dikemukakan oleh Anderson (1972) bahwa apa yang disebut teritorialitas negara itu tidak ditentukan oleh batas-batas periferinya, tetapi oleh adanya pusat kekuasaan. Uraian Anderson (1972) menyebut bahwa orang Jawa tidak melihat negaranya dalam pengertian batas-batas yang mengelilinginya, tetapi dari pusat yang memiliki kapasitas meluas kemana saja. Batas-batas geografis, seperti lautan atau pegunungan, tidak dilihat sebagai periferi suatu negara, tetapi sebagai tempat tinggal kekuatan-kekuatan yang tak nampak. Dengan demikian, kekuasaan negara dilihat oleh orang Jawa sebagai sesuatu yang fleksibel, dapat mulur dan mengkeret. Jadi, jika disebut sebuah kota dalam persepsi Jawa sebagai negara, maka ia sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh pengertian fisik teritorialitas. Eksistensi keluar atau kemunduran ke dalam sangat tergantung pada pamor kekuasaan di pusatnya.


Kota Malang mempunyai letak geografis yang sangat strtegis dan sekaligus sangat indah. Hal inilah yang menjadikan salah satu model mengapa kota kecil di pedalaman ini kemudian bisa tumbuh menjadi kota kedua terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya. Karsten (1935) melukiskan geografis Kota Malang dengan tepat sebagai berikut:

‘Malang terletak di daerah perbukitan di Jawa Timur kira-kira 85 km sebelah Selatan kota Surabaya. Kota ini semenjak dahulu beruntung karena letaknya yang baik, sebab kota tersebut terletak di jalan raya Utara-Selatan dari jaman Kerajaan Jawa Kuno, dimana bertemu 3 buah lembah yang masing-masing mempunyai jalan dan sungainya sendiri-sendiri. Dari sudut Barat Laut datanglah Kali Brantas, dari Utara datang Kali Bango dan dari Timur datang Kali Amprong. Sedangkan lembah yang keempat dimana ketiga sungai ini menjadi satu, yaitu Sungai Brantas, meneruskan perjalanannya menjulur ke Selatan. Dasar lembahnya cukup terjal dan berliku-liku. Ketinggian kotanya sendiri rata-rata 450 meter di atas permukaan air laut dan dikelilingi oleh beberapa puncak gunung berapi: Arjuno, Semeru, Tengger dan Kawi yang memberikan pemandangan indah’.


Kota Malang sudah ada sejak tahun 1400-an, sebagaimana disebutkan dalam Buku Kotapraja Malang Lima Puluh Tahun (1964), tetapi baru berkembang dengan pesat sebagai kota modern sesudah tahun 1914, yaitu sesudah kota Malang ditetapkan sebagai Kotamadya (gemeente). Setelah tahun 1870, di Malang – sebagai governement settlement yang terdekat bagi daerah perkebunan di sekitarnya – mulai dibangun infrastruktur dan komunikasi, baik di dalam maupun dengan daerah atau kota sekitarnya. Pada tahun 1878 diresmikan jalan kereta api antara Surabaya – Malang dan Pasuruan di sebelah Utara (Faber, 1931). Juga dibuat jalan raya yang menghubungkan Malang dengan Blitar dan Kediri di sebelah Barat. Disamping itu, juga dibangun rel trem dengan daerah atau kota di sekitarnya. Di dalam kota Malang sendiri sejak tahun 1870 itu pula, sebagai akibat UU Gula dan UU Agraria, pihak swasta bersama dengan Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun infrastruktur dan komunikasi. Tentu saja ini harus dilihat dari kepentingan pemerintah kolonial, dimana Malang dan sekitarnya merupa-kan daerah produksi yang harus dihubungkan dengan Surabaya sebagai kota pesisir yang berfungsi sebagai daerah distribusi atas hasil bumi dari daerah pedalaman (hinterland). Jika dilihat dari sudut perkembangan bentuk kota (morfologi kota), maka sejak tahun 1870 tersebut Kota Malang mengalami perkembangan yang pesat.


Kondisi Fisik, Sosial dan Ekonomi

Berdasarkan letak geografisnya, Kota Malang terletak pada posisi tengah dari wilayah Propinsi Jawa Timur, kemudian potensi perkembangan yang dimiliki Kota Malang menempat-kannya pada peran sebagai titik simpul jasa guna pengembangan wilayah di sekitarnya.


Kota Malang adalah salah satu dari sekian banyak kota yang direnca-nakan pembangunannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Konsekkuensinya dari kenyataan ini mengakibatkan munculnya karakteristik kota dengan pola pengembangan yang terencana, sehingga tidak mengherankan jika kota ini disebut sebagai kota peristirahatan.

Perkembangan sosial ekonomi, budaya serta peningkatan peran dan fungsi keluar mengakibatkan perkem-bangan menyeluruh terhadap berbagai aspek kota. Tidak disangkal lagi bahwa perkembangan kota yang sedemikian pesat saat ini membawa perkembangan yang tinggi pada bidang jasa dan perdagangan.


Kondisi Tata Guna Lahan

Berdasarkan rencana tata ruang kota yang ada, pola penggunaan lahan berorientasi ke pusat kota yang merupa-kan pusat kegiatan pemerintahan dan jasa serta perdagangan. Kegiatan lainnya berupa perumahan, militer, dan sebagainya yang terletak mengitari pusat kota. Dalam rencana tata ruang kota itu pula ditetapkan bahwa pusat kota diperuntukkan bagi fungsi perdagangan dan perkantoran pemerintahan. Namun demikian, kenyataan saat ini perkembangan kegiatan Kota Malang mendorong suatu pemanfaatan lahan yang luas terhadap berbagai kegiatan.


Pemanfaatan lahan di pusat Kota Malang terdiri atas berbagai peng-gunaan. Pada kawasan alun-alun terdapat berbagai penggunaan di antaranya adalah: fasilitas perkantoran, perdagangan dan jasa, peribadatan, serta pendidikan. Secara detail dapat disebutkan beberapa fasilitas yang menempati kawasan sekitar alun-alun, antara lain:

(a)    Fasilitas Perkantoran

  • Kantor Kabupaten Malang

  • Kantor Pos dan Giro

  • Kantor Inspeksi Pajak

  • Kantor Kas Negara

  • Kantor Bank Indonesia

  • Kantor Bank Bumi Daya

  • Kantor Bank Lippo

(b)    Fasilitas Perdagangan dan Jasa

  • Pertokoan Sarinah

  • Pertokoan Ramayana atau Alun-alun Mall

  • Hotel Pelangi

(c)    Fasilitas Peribadatan

  • Masjid Agung Jamik

  • GPIB Immanuel

(d)    Fasilitas Pendidikan

  • SDN Kauman


Kondisi Aktifitas

Kawasan studi yaitu pusat Kota Malang merupakan poros (axis) bagi pertemuan segala aktifitas kota yang cukup beragam, terutama bagi aktifitas perkantoran, perdagangan, dan jasa. Dengan adanya fungsi pusat kota sebagai simpul pertemuan segala aktifitas tersebut, dimana beban yang diemban oleh pusat kota semakin lama semakin berat, maka dampak yang timbul adalah terjadinya penetrasi aktifitas di pusat kota. Hal tersebut menimbulkan akses yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan budaya masyarakat di kawasan pusat kota dan sekitarnya.


Penumpukan aktifitas yang terjadi di pusat kota merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat di Kota Malang. Hal ini akan berpengaruh terhadap wujud fisik bangunan dan lingkungan di kawasan pusat kota. Didorong oleh tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat, maka terjadilah pembangunan terhadap gedung-gedung tua yang dirubah fungsinya menjadi fungsi baru. Namun, cukup disayangkan jika sampai terjadi perubahan perwajahan secara total hanya karena alasan-alasan tertentu yang semestinya tidak perlu mengorbankan masa lampau. Beberapa bangunan gedung masih dipertahankan bentuk lamanya dan masyarakat mengenalnya pada bentuk-bentuk yang masih seperti aslinya. Terdapat kecenderungan pula untuk merubah citra masyarakat dengan memunculkan gedung-gedung baru ber-arsitektur moderen yang dikhawatirkan merubah citra yang selama ini telah mereka kenal. Akan lebih ironis lagi jika masyarakat merasa asing tinggal di lingkungannya sendiri akibat munculnya gaya arsitektur yang dianggap baru dan menyesatkan tersebut.


Jika diamati perkembangan yang begitu pesat pada pembangunan gedung-gedung sekitar kawasan pusat kota alun-alun Malang yang telah dipugar, bisa jadi alun-alun Malang sebagai aset ruang terbuka hijau yang menjadi lahan resapan kota akan menghilangkan pola kota Jawa dengan ciri khas alun-alun. Beberapa pengalaman menunjuk-kan bahwa telah terjadi pergeseran pada persepsi masyarakat terhadap fungsi alun-alun yang dahulunya merupakan suatu tempat yang nyaman bagi masyarakat untuk bersantai sambil menikmati keindahan kota, kini berubah menjadi suatu tempat yang kurang nyaman dan aman untuk dikunjungi terutama pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh adanya pemanfaatan fungsi Alun-alun yang menyimpang dari fungsi sebenarnya yang telah ditetapkan oleh perencanya, diantaranya terdapat PKL liar dan WTS liar. Belum lagi tukang todong yang sering mencari mangsa yang kebetulan melintasi alun-alun.


Permasalahan, Potensi dan Prospek

Berdasarkan hasil pengamatan dan informasi yang telah diperoleh tentang kawasan pusat kota alun-alun Malang, dapat disimpulkan kondisnya sebagai berikut:

a.    Kawasan pusat kota alun-alun Malang merupakan kawasan yang penting dalam sejarah Kota Malang, terutama peran dan fungsinya sebagai pusat aktifitas Kota Malang pada masa lalu.

b.    Kegiatan pusat kota yang mixe-use pada saat ini telah berkembang cukup pesat, sehingga semua kegiatan terpusat di kawasan tersebut.

c.     Pada saat ini Malang memiliki dua pusat pemerintahan, yaitu pusat Pemerintah Kota Malang yang terletak di Jalan Tugu (alun-alun bunder) dan pusat Pemerintah Kabupaten Malang terletak di alun-alun Malang.

d.    Tumbuhnya pusat perdagangan dan jasa yang terkonsentrasi di kawasan pusat kota alun-alun menjadikan kawasan tersebut sebagai sentral dari semua aktifitas kota, sehingga intensitas arus pergerakan manusia dan barang yang menuju kawasan tersebut cukup tinggi setiap harinya.

e.    Fisik bangunan di sekitar alun-alun secara umum sudah berdiri lebih dari 50 tahun, namun terjadinya perubahan perwajahan pada beberapa gedung diakibatkan oleh tuntutan kebutuhan masa kini.

f.      Tumbuhnya gaya bangunan moderen pada beberapa gedung dan kecenderungan semakin mengaburkan citra koridor pusat kota telah memberikan dampak bagi keberadaan CKP (Citra Kawasan Perkotaan) terutama pusat kota pada masa yang akan datang.


Analisa Penelusuran Pola Penataan Kawasan Pusat Kota Alun-alun Malang 

Landasan Analisis

Pusat kota yang berperan sebagai simpul aktifitas kota didukung oleh letak geografis Kota Malang yang cukup strategis menjadikan kota tersebut makin maju dan berkembang di segala bidangnya. Potensi internal ini diwujudkan dalam perkembangan ekonomi, terutama sektor perdagangan dan jasa. Oleh sebab itu, segenap potensi yang ada sebaiknya dapat dikendalikan, agar kawasan dapat dioptimalkan secara rasional.


Konsepsi Dasar Analisis

Penelusuran pola penataan kawasan pusat kota alun-alun Malang di titikberatkan pada perpaduan dua hal, yaitu:

a.    Kajian dan telaah kembali konsepsi penataan pusat kota alun-alun Malang berdasarkan konsep awal penataannya untuk menghindari adanya kecenderungan perubahan.

b.    Pembatasan terhadap adanya penambahan aktifitas baru yang dikhawatirkan akan semakin menambah parah kondisi yang sudah ada.

Perpaduan kedua hal tersebut dilakukan dengan melihat potensi kawasan – baik fisik, lokasi, aktifitas, dan pola tata guna lahannya – terhadap pengembangan kawasan tersebut. Dari hasil analisa ini akan diperoleh suatu acuan bagi pembatasan aktifitas dan tata guna lahan kawasan pusat kota alun-alun Malang.


Analisis Visual Kawasan

a.    Karakter Kawasan. Dalam kawasan alun-alun Malang dapat ditelaah dua elemen rona kawasan utama yang memiliki karakteristik khas, yaitu:

1.    Elemen ruang terbuka: Alun-alun sebagai ruang terbuka hijau kota semula hanya berupa pelataran. Dalam perkembangan-nya, terdapat pola pertamanan,  street furniture, dan penempatan parkir kendaraan di alun-alun yang seakan-akan membatasi gerak masyarakat dalam ber-interaksi dengan ruang luarnya. Sebagai urban mass, alun-alun semakin terjepit oleh luapan parkir dari bangunan-bangunan yang ada di sekiling alun-alun.

2.    Elemen yang berkaitan dengan nilai estetis ruang: Secara visual kendaraan yang menempati area hijau alun-alun mengurangi nilai estetis ruang luar. Peranan ruang terbuka alun-alun dengan tekstur lansekap yang berbaur dengan beragam bentuk elemen material memberi kesan kualitas dan karakter crowded (berdesak-desakan).

 

b.    Tata Ruang dan Massa Bangunan. Pola tata ruang kawasan alun-alun tidak terlepas dari sistem dan distribusi pusat kegiatan di sekitar kawasan alun-alun Malang. Jaringan dan sistem sirkulasi kota telah merangsang pusat kegiatan ekonomi di kawasan alun-alun, seperti pertokoan dan perbelanjaan yang mendominasi struktur ruang kawasan. Pola ruang terbuka (open space) alun-alun tidak boleh digunakan sebagai peluberan aktifitas kaki lima dan tempat parkir. Massa bangunan memiliki keseimbangan (balance) dengan ruang luar alun-alun, yang dalam perkembangannya mengalami ketidakseimbangan dengan ruang sekitar kawasan akibat pertumbuhan kawasan pertokoan dan jasa lainnya. Urban mass yang berupa solid-mass maupun void-mass terhadap struktur ruang pusat kawasan alun-alun menunjukkan daerah yang padat bangunan dan crowded (berdesak-desakan) bagi sirkulasi pejalan kaki maupun transportasi angkutan kota.


c.     Kualitas Visual. Karakter lingkungan melalui pe-maknaan ruang akan mempengaruhi fungsi ruang dalam pengaturannya dengan komunikasi perilaku masyarakat pemakai ruang. Di kawasan alun-alun Malang, karakter visual lingkungan interaksi dengan diwarnai oleh berbagai bentuk, elemen, benda (bangunan dan ruang) dan perilaku masyarakatnya. Kejelasan bentuk massa bangunan akan memperkuat kejelasan terhadap kehadiran suatu tempat. Keterpaduan visual dan fasad akan memberikan citra pemakai terhadap karakter visual. Kejelasan tata guna dan pengaturan tata bangunan terhadap ruang-ruang luar serta jaringan (lingkage) akan memudahkan masyarakat pemakai, mengenali kawasan dan kejelasan arah yang akan dituju. Hal ini berkaitan langsung terhadap kehadiran massa bangunan yang ada di kawasan alun-alun Malang. Karakter visual lingkungan dan bangunan akan memudahkan masyarakat segi kenikmatan dan kenyamanan ketika mengakomodasikan kegiatannya.


Analisis Penyediaan Tempat Parkir

Parkir merupakan perantara bagi orang yang mempergunakan sarana transportasi menuju ke tempat pedestrian sebelum menuju ke tempat tujuan akhirnya. Tempat parkir sebagai tempat pemberhentian kendaraan harus tetap sedekat mungkin dengan tujuan yang hendak dicapai. Idealnya dekat dengan pintu yang dilalui dan masih di dalam lingkup pencapaian si pemarkir. Pada kondisi eksisting, di kawasan alun-alun Malang perletakan tempat parkir sudah semakin meluber hingga memakan sebagian tempat di alun-alun. Hal ini dirasa cukup mengganggu masyarakat yang ingin melakukan aktifitas non-formal di alun-alun, karena ruang yang seharusnya digunakan untuk bersantai menjadi semakin berkurang oleh pemanfaatan sebagian ruang bagi kepentingan tempat parkir.


Penyediaan tempat parkir hendaknya cukup disediakan oleh masing-masing bangunan yang ada di kawasan alun-alun. Indoor parking lebih sesuai karena pencapaian ke tempat tujuan bisa dilakukan sedekat mungkin. Hal ini jika di perbandingkan dengan tempat parkir yang ada di alun-alun, maka masyarakat yang akan menuju ke tempat tujuan seperti ke pertokoan harus menyeberang jalan yang lalu lintasnya cukup padat. Dengan demikian tingkat kenyamanan, keamanan dan jarak tempuh ke tujuan akan semakin berkurang. Hendaknya dihindari adanya parkir di pinggir jalan (on street parking) pada kawasan alun-alun Malang karena hal tersebut sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas.


Analisis Penyediaan Pedestrian

Penyediaan pedestrian sebagai prasarana pejalan kaki harus mem-perhatikan kualitasnya terhadap faktor material, faktor keamanan, dan kenyamanan. Hal tersebut sangat penting, mengingat pedestrian meru-pakan prasarana pejalan kaki yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama bagi mereka yang memerlukan jarak capai yang lebih dekat ke tempat tujuan.


Prasarana pejalan kaki yang ada dinilai cukup bagus namun perlu pelebaran, khususnya trotoar, karena kondisi eksisting saat ini sekedar sebagai pelengkap. Disamping itu, perlu diperhatikan faktor keamanan dan kenyamanannya; seperti masih adanya penempatan tiang listrik yang memakan ruang pada trotoar bahkan hingga menjorok ke jalan. Penempatan tiang listrik yang ada di depan Kantor Kabupaten, Bank Lippo, Pertokoan Ria, Pertokoan Sarinah, Kantor Pos dan Giro, serta Hotel Pelangi harus dipindahkan ke tempat yang lebih menjamin tingkat keamanan dan kenyamanan pejalan kaki.


Analisis Tata Guna Lahan Kawasan

Analisis tata guna lahan dimaksud-kan untuk mengatur jenis kegiatan yang diijinkan di atas lahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi guna lahan pada kawasan pusat kota alun-alun Malang yang terdiri atas fungsi perkantoran, peribadatan, perdagangan, jasa dan ruang terbuka, serta pendidikan.


Pada tata guna lahan kawasan alun-alun Malang menunjukkan fungsi-fungsi tersebut di atas telah tercakup, namun nampak adanya indikasi bahwa fungsi komersial akan semakin mendominasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan Alun-alun Mall, Mitra Pasaraya, Plasa Malang, Sarinah Plasa, Gajah Mada Plasa, dan sekitarnya. Kenyataan tersebut jelas akan menambah semakin dominannya fungsi komersial (perdagangan dan perbelanjaan) pada kawasan alun-alun Malang. Dengan demikian, fungsi lain di luar fungsi komersial pada kawasan alun-alun Malang tersebut diharapkan tetap dipertahankan dari adanya kecenderungan semakin menumpuknya kegiatan di pusat kota.


Pusat kota alun-alun Malang memiliki peruntukan tanah campuran (mixed-use) yang penerapannya telah berlangsung sejak pertama kali dibangun pada masa kolonial. Penerapan konsep mixed-use yang hingga kini tetap terpelihara merupakan suatu inspirasi bagi Pemerintah Kota Malang dalam menentukan kebijakan pengembangan kawasan selanjutnya.


Konsep dasar yang dipergunakan dalam pengerahan peruntukan tanah Kota Malang sebagai acuan bagi peruntukan tanah di kawasan pusat kota alun-alun Malang adalah zoning. Atas dasar hal tersebut masih cukup fleksibel terhadap peruntukan tanah yang lain dengan beberapa persyaratan. Sebagai zoning yang memberikan arti fungsi dominan kawasan memerlukan persyaratan pengendalian sebagai berikut:

a.    Penggunaan tanah sesuai dengan dasarnya harus dijaga lebih besar dari 60%.

b.    Kegiatan-kegiatan maupun peng-gunaan tanah selain yang sesuai dengan fungsi dasar, diper-kenankan masuk ke dalam kawasan tertentu dengan syarat:

  1. Memenuhi persyaratan HO (hinter ordonantie).

  2. Mempunyai kaitan fungsional yang kuat.

  3. Tidak mendominasi dalam pemanfaatan tanah di dalam kawasan tertentu.


Merujuk pada rencana tata ruang kota yang ada, maka telah ditetapkan fungsi lahan pusat kota sebagai perkantoran, perdagangan dan jasa, maupun fasilitas kota lainnya seperti fasilitas sosial. Hal tersebut pada gilirannya akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan guna lahan pusat Kota Malang. Perkembangan pusat kota akan diikuti oleh meningkatnya tuntutan akan kebutuhan lahan. Keterbatasan lahan dan tingginya intensitas pembangunan mengakibatkan adanya kecenderungan yang besar terhadap pertumbuhan bangunan pusat kota secara vertikal. Kenyataan ini juga dihadapi oleh kawasan pusat kota alun-alun Malang dengan intensitas bangunan yang tinggi.


Dengan demikian, konsep struktur penataan ruang kawasan pusat kota alun-alun Malang bisa diperoleh dari pengamatan pola perkembangan guna lahan pusat kota Malang sejak tahun 1914 hingga saat ini dengan menerapkan super impose pada peta tata guna lahan. Dari hasil analisa ini diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan sementara tentang konsep struktur penataan ruang kawasan pusat kota alun-alun Malang.


Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan terhadap kawasan pusat kota alun-alun Malang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.    Kawasan pusat kota alun-alun Malang merupakan kawasan yang penting dalam sejarah Kota Malang.

b.    Diperlukan adanya konsepsi penataan pusat kota alun-alun Malang berdasarkan kondisi awal untuk menghindari adanya kecenderungan perubahan yang menghilangkan eksistensi alun-alun.

c.     Diperlukan adanya kebijakan pembatasan aktifitas dan tata guna lahan kawasan pusat kota alun-alun Malang yang tercermin dalam fasad bangunan-bangunan di sekitar alun-alun.


Daftar Pustaka

1.    Alvares Z., Eko. 1995. Karakter Arsitektur Kota Padang: Perkembangan Kota dan Perubahan Spasial. Makalah Ilmiah Pendidikan Doktor. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

2.    Budihardjo, Eko, & Hardjohubojo, Sudanti. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Penerbit Alumni.Branch, Melville C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar & Penjelasan. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

3.    Dana, Djefri W. 1990). Ciri Perancangan Kota Bandung. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

4.    Handinoto, & Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang. Yogyakarta: LPPM UK. Petra dan ANDI.

5.    Hadi, Yusron. 1994. Pengembangan Bentuk Perdagangan dan Konservasi Bangunan: Suatu Pendekatan Revitalisasi pada Kawasan Perdagangan Pecinan. Skripsi Teknik Arsitektur. Yogyakarta: Universitas Gadjahmada.

6.    Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Seri Etnogarafi Indonesia No. 2. Jakarta: PN. Balai Pustaka.Anonim. Kotapradja Malang 50 Tahun, 1964. Malang: Pemerintah Kotamadya Malang.

7.    Marbun, B.N. 1990. Kota Indonesia Masa Depan: Masalah dan Prospek. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wiryomartono, A Bagoes P. 1994. Bangunan Lama dan Bersejarah: Direvitalisasi Dalam Konteks Kekinian. Artikel. Majalah Konstruksi.

___________.  1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota Di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindhu-Budha, Islam, Hingga Sekarang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


16 March 2012 by iplbi

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page