top of page

“Yogyakarta Serambi Madinah” DalamPerspektif Tata Ruang

Dr. Ing. Ilya Fadjar Maharika | IAI, Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia | Email maharika@uii.ac.id


Makalah ini berusaha mengidentifikasi potensi permasalahan wacana Yogyakarta Serambi Madinah dalam perspektif tata ruang. Pertama adalah melihat implikasi wacana tersebut dalam politik tata ruang yang mungkin konfliktual. Kedua, adalah implikasi dalam politik yang menjadikan ambiguitas yang mungkin pula konfliktual. Berdasarkan analisis keruangan, makalah ini menyodorkan suatu interpretasi terhadap Yogya Serambi Madinah dalam kerangka dualisme, yaitu ko-eksistensi antara tatanan berbasis kultural-teokrasi (Kraton sebagai representasinya) dan demokrasi-ekonomi (pemerintahan formal sebagai representasinya) dalam upaya menegaskan kembali adanya “ruang demokratik” yang telah menjadi ciri keistimewaan Yogyakarta dari sisi tata ruang.


Pendahuluan

Dalam menerawang “Yogyakarta Serambi Madinah” (penulis singkat dengan YSM) dari sisi tata ruang penulis perlu menyampaikan sudut pandang terlebih dahulu. Penulis membatasi diri untuk tidak serta-merta menginterpretasi YSM ke dalam pola-pola tata ruang. Alih-alih, penulis lebih memberikan perspektif makna dan konsekuensi YSM dilihat dari bagaimana YSM tersebut (bila) terspasialisasi. Sangat mungkin, bilamana YSM ini lantas bergulir menjadi sebuah “institusi” (peraturan daerah atau apapun namanya yang formal), maka sangat mungkin akan menjadi sebuah titik kritis di mana ruang lantas menjadi “arena ujian” bagi nilai abstrak itu. Di sini justru lebih banyak pertanyaan yang muncul ketimbang jawaban. Dengannya, penulis mengundang diskusi untuk mencari pertanyaan yang tepat dan kemudian kemungkinan jawaban yang juga tepat dalam mendudukkan konteks YSM pada khususnya dan “keistimewaan Yogyakarta” pada umumnya. Dalam makalah ini penulis banyak mendasari pada pemikiran Richard Sennet “Open City” yang terilhami oleh Jane Jacobs “The Death and Life of Great American Cities” dan mungkin berujung pada Karl Popper “Open Society” yang dalam banyak hal menjadi sangat relevan dengan wacana YSM ini.[1]


Paling tidak ada dua permasalahan yang akan menjadi fokus dalam makalah ini yaitu, pertama, bagaimana makna YSM sebagai ekspresi “semangat toleransi” dalam ruang dan apa konsekuensinya? Kedua, bagaimana sebaiknya memposisikan YSM dari sisi kebijakan ruang?


Teori yang dipakai untuk menganalisis YSM adalah pemaknaan (semiotika) dan politik kekuasaan ruang. Artinya, ruang dan bangunan sebenarnya juga menjadi alat komunikasi yang berfungsi kurang lebih seperti bahasa. Sedikit berbeda dengan bahasa kita yang mana makna dapat disusun dalam urutan tata bahasa (struktur), maka lingkungan buatan dapat dibaca tanpa urutan. Dengan demikian pemaknaannya yang arbitrary menjadi semakin “bebas” sangat tergantung pada weltanschauung dari orang yang memaknainya. YSM dalam konteks ini memang “belum menjadi ruang” dan oleh karenanya penulis berusaha memetakan implikasi YSM dalam “memproduksi” ruang-ruang itu (sebuah “arkeologi masa depan”).


Yogyakarta Serambi Madinah sebagai Semangat Toleransi

Tujuan utama munculnya YSM adalah sebagai sebuah upaya mendefinisikan kembali “ke tataran praktis” keistimewaan Yogyakarta. Dalam tugas ini, YSM merujuk pada semangat toleransi yang ditunjukkan dalam Piagam Madinah yang mungkin “cocok” dengan keistimewaan Yogyakarta. Dalam konteks toleransi di sini dapat diartikan secara sempit pada adanya keridhoan (kerelaan) dari sang dominan (Umat Islam Madinah) pada eksistensi entitas-entitas minoritas dengan segala atribut yang melekat padanya. Artinya, dalam konteks kekinian, YSM akan menghadapkan Umat Islam pada “ujian pertama” yaitu bagaimana mempraktikkan toleransi itu dalam dunia nyata melalui ruang. Penulis akan memberi ilustrasi bagaimana “ujian keruangan” itu nantinya, melalui beberapa contoh.


Eropa misalnya, mencanangkan kota-kotanya sebagai “open city”. Artinya, mereka berusaha untuk menjunjung tinggi keterbukaan dengan menerima kota sebagai amalgam dari “kultur dan masyarakat asing yang tidak mereka ketahui seluruhnya.” Ruang kota adalah (seharusnya) menjadi ruang demokratis dalam artian sebagai forum dari para orang asing untuk berinteraksi. Namun demikian, keinginan ini sedang memasuki ujian, misalnya dengan keinginan sebagian Umat Islam di Eropa untuk membangun masjid sendiri. Mereka dalam beberapa hal menjadi “sangat ortodok” dalam menginterpretasi keterbukaan ketika sampai pada ruang. Masyarakat mereka menjadi sangat puritan: menolak menara masjid, menolak cadar di institusi publik, menolak sholat hari raya dalam ruang terbuka dan lain sebagainya. Demikian pula dengan Palestina. Di awalnya adalah area yang toleran dimana ketiga agama samawi berdampingan dan justru menjadi sangat garang dan volatile karena adanya klaim Yahudi sebagai “tanah yang dijanjikan” kepada bangsa Yahudi dan berusaha secara politik sebagai pusatnya (gerakan Zionisme).[2] Artinya, walaupun dalam sejarah praktik toleransi itu ada, akan tetapi ketika diformulasikan dalam kebijakan ruang, masyarakat cenderung sangat ortodoks dan kembali ke “jati diri” yang kadang menjadi sangat konfliktual.


Dalam konteks dengan YSM, Umat Islam akan ditantang untuk mampu mendefinisikan semangat “semangat toleransi” itu sampai di mana (atau akan menjadi sangat ortodoks juga?). Apakah kita dapat menerima sinagoge untuk para turis yang beragama Yahudi berdiri di Yogyakarta? Apakah Ahmadiyah boleh membangun masjid sendiri? Bagaimana dengan masjid Syiah? Seberapa tinggi julangan gereja gothic bisa didirikan? Seberapa banyak dan seberapa besar klenteng bisa dibangun? Dalam skala yang lebih luas, nasional dan dari sisi kebangsaan, apakah kota-kota kita lantas boleh (atau Umat Islam rela) munculnya “Serambi Roma”, “Serambi Yerusalem”, “Serambi Varanasi” dan sejenisnya? Hukum apakah yang akan diterapkan di situ? Apakah asosiasi-asosiasi ini bisa memicu terjadinya “solidaritas” antara induk kota dengan serambinya? Kalau begitu, mungkinkah konflik yang terjadi di sana akan mempunyai imbas terhadap “serambi” di Indonesia? Dalam konteks “formalisasi” YSM menjadi instrumen kepemerintahan, penulis cenderung melihat masa depan sebagai kemunculan ruang-ruang yang terpartisi secara religius dan sangat mungkin konfliktual.


“Efek samping” yang agak berbeda tetapi tetap dalam ranah semiotika adalah pemaknaan simbolik. “YSM” dengan mudah akan dimaknai sebagai bentuk “Arabisasi” ataupun dalam konteks tertentu “Islamisasi” ketimbang sebuah manifestasi dari kehidupan toleransi seperti yang dicita-citakan. Bahkan dalam makna tertentu sangat mungkin akan menjadi arus “puritanisasi” di mana leburan identitas Yogyakarta sebagai melting pot ini justru akan menjadi ter-indigenisasi: mengkristal menjadi unsur-unsur pembentuknya. Konsekuensinya, akan banyak sekali tradisi Jawa yang melekat pada Yogyakarta akan diuji oleh YSM: apakah tradisi-tradisi lokal itu “Islami”? Sebagaimana dengan tradisi-tradisi seperti nyadran, suran dll. yang lantas dapat saja akan dipertanyakan. Dalam konteks ini pemaknaan agama yang monolitik bisa jadi sangat sulit berdampingan dengan semangat toleransi.


Yogyakarta Serambi Madinah sebagai Ruang Kekuasaan

Ruang selalu menjadi alat utama dalam mempraktikkan kekuasaan. Ruang pada kenyataannya adalah tempat di mana kekuatan kekuasaan diujikan untuk mengatur manusia-manusia di dalamnya atau dalam bahasa Foucault sebagai institusi untuk “mendisiplinkan” masyarakat.[3] Ruang adalah institusi yang menjadi alat untuk mendisiplinkan masyarakat. Dalam konteks ini, seandainya YSM menjadi sebuah instrumen kenegaraan yang formal akan menjadi sangat politis. Di satu sisi hal ini merupakan sebuah ujian terhadap eksistensi “Sultan” sebagai pemimpin negara dan sebagai pemimpin agama (Islam). YSM seakan-akan lantas bukan sekedar “mengingatkan kembali” tetapi merupakan penegasan dan “deklarasi” bahwa Yogyakarta adalah sebuah bentuk kekhalifahan Islam – dan oleh karenanya nama “Sultan” ini menjadi sangat bermakna sebagaimana kelanjutan tradisi kekhalifahan Islam masa lalu – dan mempunyai implikasi kekuasaan politik yang luas. Di sini kita mempunyai dua masa depan yang sangat mungkin juga konfliktual.


(1) Terutama bagi Umat Islam, YSM mungkin akan menjadi batu pijakan dalam menerapan kekhalifahan Islam secara nyata dengan lebih memunculkan “tradisi-tradisi Islami” (syariat Islam) sebagai dasar dan praktiknya. Akankah ini muncul dari Kraton atau dari masyarakat lokal atau keduanya secara simultan akan menjadikan sebuah “gerakan kesadaran” keislaman yang kuat.


(2) Bagi sebagian umat yang lain (mungkin juga sebagian Umat Islam lainnya), akan melihat sebagai sebuah upaya dominasi atau menciptakan relasi yang subordinatif. Artinya apakah ini berarti dominasi Kraton terhadap institusi rakyat (demokrasi/pemerintahan) atau dominasi Umat Islam terhadap yang lain, keduanya secara simbolik akan memunculkan pembacaan yang luas ini.


Keduanya pasti akan diuji melalui ruang dan menjadi pergulatan yang mempunyai implikasi terhadap ruang baik di paras “negara” (DIY) ataupun di paras “lokal” (“pemerintahan” kecil seperti RT atau RW, dukuh dll). Persoalan akan muncul pada pemilihan pimpinan (hingga ke daerah terkecil), relasi antara “kekhalifahan” yang dalam banyak hal sering dioposisikan dengan “demokrasi” dan lain sebagainya. (Persoalan kurang lebih serupa sebenarnya yang sedang kita hadapi dalam memposisikan Sultan sebagai “pemimpin Kraton – budaya” dan Sultan sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam rangka penyelesaian RUU Keistimewaan tampak kita mengalami ambiguitas, sehingga di-status quo-kan untuk tidak menyebutnya sebagai “dead lock” karena kita berusaha selalu menyatukan antara keduanya).


Yogyakarta Serambi Madinah dan Ruang Demokratis-religius-toleran?

YSM sangat mungkin sekedar menjadi gerakan moral dan “pencerahan” tanpa dilabelkan secara politis – formal. Artinya, Yogyakarta akan menjadi Serambi Madinah bagi Umat Islam, Sultan akan dianggap menjadi interpretasi Jawa “kekhalifahan Islam”, umat agama lain akan memaknainya sebagai “toleransi Islam” dan seterusnya secara cair.


Belajar dari konstelasi ruang Yogyakarta, kehidupan demokratis – religius – toleran ini sebenarnya sudah sangat terspasialisasi melalui tatanan kosmos-kosmis Yogyakarta yang melebur agama kuna dan agama baru. Ini adalah bentuk yang sudah sangat “toleran” dalam artian, Islam mampu diterjemahkan dalam lingkup yang sangat Jawa, lepas atribut-atribut kearaban ataupun keislaman dan menjadi entitas baru. Poros Merapi – Tugu – Alun-alun – Kraton – Krapyak – Parangtritis sebenarnya merupakan sebuah ruang yang mampu membingkai ruang yang kaya makna. Di situ, Umat Islam dengan mudah melabelkan Islami dengan kedudukan Masjid Gedhe sebagai salah satu elemen pusat serta pranata yang Islami. Agama Hindu dan Buddha bisa membaca dari konstelasi abadi gunung – lautan. Agama Kristiani bisa melibatkan diri dengan Gereja Ngejaman dan “Kuadran Eropa” di sekitar Vredeburg. Umat Islam “tradisional” dengan pesantren-pesantren di Krapyak dan keempat Pathok Negoro. Masyarakat Tionghoa jelas dengan Klenteng Ketandan dan Malioboronya. Kejawen dengan topo mbisu suran yang memancarkan “keajegan dalam memutari pusat yang tiada – ning (wening-hening) rat (malam).” Orang kebanyakan “menguasai” alun-alun. Dan seterusnya. Artinya, konstelasi Yogyakarta secara keruangan telah menunjukkan semangat religius, toleransi, demokratis dan egaliter yang berlapis-lapis tanpa adanya relasi dominasi – subordinasi ataupun makna yang monolitik. Tatanan kemasyarakat yang multilayer serupa dijumpai di kampung-kampung kita. Kampung mempunyai “porositas” terhadap orang asing atau sang liyan (the other) walaupun tetap mempunyai identitas dan teritorinya sendiri. Kampung juga menunjukkan sebuah sistem yang terbuka yang memungkinkan negosiasi terus menerus antara keseragaman dan keragaman, antara tatanan dan perubahan, antara ketaatan pada aturan dan kebebasan individual.[4] Di sini dalam lingkup makro, Kraton merupakan pemusatan konstelasi kultural – ilahiyah sementara Kepatihan adalah mengurusi jejaring konstelasi ekonomi – muamalah.


Artinya, ruang-ruang di Yogyakarta dalam banyak sekali hal mencerminkan nilai yang istimewa tersebut dengan sangat kuat dalam bentuk “dualisme habluminallah – habluminannas”: kekuasaan religius-teokrasi dan kekuasaan demokrasi-ekonomi. Dualisme ini tidak disatukan tetapi disandingkan dan dijadikan sebagai sebuah interaksi terus menerus yang akan saling menjaga antara keseimbangan (spiritual) dan ketidakseimbangan (material). Dengan demikian, ruang Yogyakarta sebagai kosmos dan kosmis adalah representasi “manunggaling kawulo Gusti” yang harus dimaknai sebagai adanya dualisme antara aturan-aturan untuk kawulo (demokrasi-kosmis) dan aturan-aturan Gusti (ketuhanan-teokrasi – kosmos) dalam satu tataran ruang-waktu.


Apabila kita dapat menerima adanya dualisme itu (dan tidak berusaha untuk menyatukannya tetapi membiarkannya sebagai sebuah interaksi sebagaimana ruang-ruang di Yogyakarta ini) maka persoalan YSM menjadi “lebih mudah” dianatomikan dan pada ujungnya juga “keistimewaan Yogyakarta”.


Sangat mungkin yang mendeklarasikan YSM adalah justru Kraton dan bukan Pemerintah Daerah. Kraton akan menegaskan diri menjadi pusat grafitasi dari tradisi-tradisi toleransi-religius itu dan menginisiasi menjadi “hukum kraton” yang menjadi hukum adat. Artinya, aturan-aturan yang “berbasis teokrasi” bisa dibangun dengan semangat toleransi itu. “Hukum Kraton” itu akan mengurusi bagaimana kampung-kampung harus mempunyai “ukuran” dan konsensus untuk mengatur seberapa keras pengeras suara dari masjid, kapan pengeras suara dipakai agar tidak mengganggu dan lain-lain, dan terus mengembangkan adab dalam menghormati kemajemukan masyarakat kita.


Sementara itu Pemerintah Daerah akan menerjemahkan dalam tataran ini yang sempit dan menciptakan instrumen yang mampu menjaga toleransi itu dipraktikkan dan dimaknai secara sempit. Mereka bertanggung jawab menciptakan perda-perda turunan dari semangat demokratis-toleransi-religius itu. Sebagai contoh adalah dengan menjamin adanya fasilitas religius untuk tiap bangunan yang utilitarian (sekuler). Misalnya, mall harus menyediakan ruang ibadah yang adekuat, nyaman, dan bukan sekedar secuil ruang di basement atau di parkiran (seperti yang terjadi di Ambarukma Plaza dan mal lainnya di Yogyakarta), rumah sakit dan kampus dan istitusi publik milik Islam harus punya ruang doa untuk agama lainnya dan sebaliknya. Peraturan-peraturan seperti ini dengan mudah dibuat dan kurang berpotensi konfliktual karena sempit dan spesifik pemaknaannya. Dengan demikian, keistimewaan Yogyakarta pun dapat didefinisikan dengan diterimanya dualisme kekuasaan dan aturan tersebut dalam satu kesatuan ruang-waktu, sebuah ko-eksistensi.[5]


Penutup: Ancaman terhadap demokrasi – toleransi – religius

Penulis melihat ancaman terbesar ruang kota kita adalah privatisasi (dalam beberapa kasus menjadi “komunalisasi yang ekslusif”). Ruang kota dan desa kita kini banyak sekali terpartisi oleh kekuatan dan kekuasaan (ekonomi), yang didominasi oleh paradigma “survival of the fittest (the powerful)”. Dalam konteks ini toleransi mungkin harus dimaknai bukan semata religius tetapi justru pada toleransi antar strata sosial-ekonomi: menjamin wong cilik (masyarakat terpinggirkan) bisa benar-benar mendapat ruang. Dengan arus itu, Yogyakarta sedang menuju pada goncangnya “keseimbangan (spiritual) – ketidakseimbangan (material). Memaknai Yogyakarta Serambi Madinah juga harus memaknainya sebagai “rahmatan lil alamin”: bukan sekedar simbolik tetapi lebih pada tataran pragmatik. Kita membutuhkan banyak diskusi dalam konteks ini untuk berjuang dalam menjaga “keseimbangan dan ketidakseimbangan” itu dalam dialektika ruang.


Ini masih banyak butuh eksperimentasi-eksperimentasi.


Daftar Pustaka

  1. Foucault, M. (1982). Space, Knowledge and Power. The Foucault Reader.

  2. P. Rabinow. London, Penguin Books: 239-256.

  3. Jacobs, J. (1972). The death and life of great American cities. Harmondsworth, Penguin.

  4. Popper, K. R. (1966). The open society and its enemies. London, Routledge & Kegan Paul.

  5. Sennett, R. (2006). The Open City. Urban Age. Berlin, Cities Programme London School of Economics and Political Science and the Alfred Herrhausen Socety – International Forum of Deutsche Bank.

  6. Sloterdijk, P. (2004). Sphären III, Schäume. Frankfurt, Suhrkamp.

  7. Weizman, E. and R. Segal, Eds. (2002). A Civilian Occupation: The Politics of Israeli Architecture. London and Tel Aviv, Verso and Babel Press.


[1] Sennett, R. (2006). The Open City. Urban Age. Berlin, Cities Programme London School of Economics and Political Science and the Alfred Herrhausen Socety – International Forum of Deutsche Bank.


Dalam banyak hal Sennett mengungkapkan rujukannya yaitu Jacobs, J. (1972). The death and life of great American cities. Harmondsworth, Penguin.


Jacobs, J. (1972). The death and life of great American cities. Harmondsworth, Penguin.

Lebih jauh pada Popper, K. R. (1966). The open society and its enemies. London, Routledge & Kegan Paul.


Popper, K. R. (1966). The open society and its enemies. London, Routledge & Kegan Paul.


[2] Lihat bagaimana politik ruang Israel dalam membagi tanah yang menimbulkan konflik lateral antara Bangsa Arab dan Bangsa Israel hingga ke level “perang keluarga” bukan hanya antar dua ideologi. Weizman, E. and R. Segal, Eds. (2002). A Civilian Occupation: The Politics of Israeli Architecture. London and Tel Aviv, Verso and Babel Press.


Weizman, E. and R. Segal, Eds. (2002). A Civilian Occupation: The Politics of

Israeli Architecture. London and Tel Aviv, Verso and Babel Press.


[3] Foucault, M. (1982). Space, Knowledge and Power. The Foucault Reader. P. Rabinow. London, Penguin Books: 239-256.


[4] Dalam bahasa Sennett penulis yakin kampung sudah seperti yang diharapkan sebagai representasi open city yaitu (1) batas-batas wilayah yang “hidup” (passage territories), (2) bentuk-bentuk yang “belum jadi” yang bisa diisi dengan keragaman (incomplete form) dan (3) masa depan yang ditentukan oleh interaksi dan komunikasi dan bukan rencana yang deterministik (narrative development). Sennet 2006 op. cit.


[5] Sebuah elaborasi yang luar biasa tentang ko-eksistensi ruang dapat dilihat di magnum opus Sloterdijk, P. (2004). Sphären III, Schäume. Frankfurt, Suhrkamp.


Sloterdijk, P. (2004). Sphären III, Schäume. Frankfurt, Suhrkamp.


Penulis adalah alumnus Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada (S1, 1993), University of York, Inggris (S2, 1999) dan Universitaet Kassel Jerman (S3, 2006). Saat ini adalah staf edukatif tetap di Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia sejak 1993 dan mengampu Center for Socius Design yang mempunyai misi “memitrakan melalui ruang” (www.csd.uii.ac.id). Makalah ini disampaikan sebagai bagian dari misi itu dan dipresentasikan dalam Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri 29, 26 Januari 2010 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.


18 January 2012 by iplbi

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page